Meski konsetrasi pada pendidikan dunia politik, namun tampaknya politik bukan dunia saya yang sebenarnya. Saya belum sanggup berhadapan dengan segala intrik di dalamnya. Saya lebih suka berbicara politik dalam tataran akademik, bukan spekulasi atau sekedar mengasah harapan di tataran ini. Emosional saya belum baik, pergaulan saya belum matang dan juga insting spekulasi saya belum terasah. Lagi pula secara akademik, saya belum apa-apa dibanding para pemain politik lainnya.
Anugerah Yang Maha Kuasa pada diri saya sepertinya hanya ditakdirkan sebagai ‘pegawai negeri’ saja. Tentu harus dikerangkeng dengan rambu-rambu yang berlaku di negeri ini bahwa seorang pegawai lebih baik professional di bidangnya masing-masing, meski tetap berharap saya tidak terpenjara untuk tidak menulis atas realitas sosial yang membentang dihadapan saya.
Jakarta yang kemudian menjadi labiratorium pendidikan saya, telah banyak mengajarkan dan melibatkan saya pada sejumlah aktifitas yang sebenarnya ‘diluar batas’ sebagai seorang aparat pemerintah. Tak perlu disebutkan satu persatu, tetapi saya hanya punya kesimpulan sederhana, bahwa saya perlu ‘back to basic’, belajar menghargai apa yang telah saya miliki hari ini. Berpolitik memang wahana untuk memperbaiki harkat dan martabat bangsa, tetapi tampaknya saya belum siap untuk itu. Semakin larut di dalamnya, maka semakin tampak hal-hal yang sebenarnya saya tak bisa mengikutinya. Saya tidak menyerah, saya hanya mencari dunia saya yang sebenarnya, mencari bentuk dan pijakan dimana kaki kedamaian saya akan berpijak nantinya.
Hari ini saya banyak membaca buku ‘Wild Swans’ karya Jung Chang yang merupakan kisah nyata tiga wanita China melalui pergolakan sosial sejak jatuhnya Pu Yi, masa penjajahan Jepang, perang saudara, kejayaan Komunis hingga masa kini. Pada buku ini, saya amat terkesima dengan kisah Xie De-Hong, perempuan perkasa China yang lahir dan tumbuh dari segala bentuk keterbelakangan, penindasan hingga masuk dalam dunia politik China yang berbalut komunis. Yang saya bisa petik dari kisah itu, adalah ‘kematangan menentukan langkah dalam berpolitik, bahwa jika pengetahuan kita amat sedikit, maka segeralah mundur, sebelum jauh dilibas didalamnya. Sebab jika Anda bertahan, maka Anda tak akan pernah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Dan saya merasa, belum cukup pengetahuan di bidang itu, sehingga harus mundur sebelum dilibas oleh zaman.
Bagi banyak orang. Ketika saya menulis tentang sosok tokoh kepemimpinan nasional yang melintas di dunia politik, maka pada saat bersamaan orang akan memberi ‘label’ jika sebenarnya saya telah melintas ke dunia politik itu sendiri. Ini yang saya hindari, meski banyak cara untuk berkelit. Tetapi saya benar-benar memilih satu jalan, konsentrasi pada tujuan yang sebenarnya. Seperti harapan anak-istri ketika melepas ke Jakarta untuk menyelesaikan pendidikan. Itu cita-cita lama, dimana saya pernah menulis satu kalimat kecil, “tak mati sebelum cita tergapai”.
Perjalanan sejengkal dalam mengenal dunia politik mentasbihkan saya bukan sebagai ‘lokomotif’ tetapi sebaiknya tetap fokus sebagai ‘pengagum’, sebab saya telah mengenal apa-apa yang menjadi kelemahan pribadi saya, seperti belum matang dalam bertindak, sederhana dalam berfikir, dan emosional yang masih labil. Saya masih perlu belajar untuk tidak ‘menyalakkan’ pistol kepongahan akademik saya yang amat sedikit ini. Saya juga sadar, bahwa ilmu yang masih sejengkal dan pengalaman yang sedepah, belum cukup untuk malang melintang di dunia itu.
Kalaupun orang mengatakan saya sedikit punya kelebihan dalam komunikasi verbal, yang merupakan ‘modal awal’ dalam dunia politik, tetapi itu juga tak cukup jika tak punya nyali untuk bertahan di dalamnya. Bagi saya, dunia saya yang sebenarnya adalah dunia kesederhanaan. Ingin bercanda dengan kalangan lapis bawah, ingin merasakan bagaimana getir kehidupan anak jalanan dan pengemis-pengemis ibukota, tentu juga ingin mencumbui bagaimana hiruk pikuk kalangan ‘jetset’ ibukota.
Mungkin semuanya itu telah saya jalani, dan saya rasa cukup untuk menjadi cerita masa depan saya. Ini bukan keputus-asaan, ini juga bukan bentuk lari dari kenyataan. Ini sebuah proses belajar untuk menentukan mana yang terbaik, serta belajar bertindak di saat yang tepat. Mungkin sejenak saya ‘koma’ dari kehidupan hiruk pikuk politik Ibukota, tetapi bukan berarti cita-cita saya harus tersungkur di tengah jalan. Saya hanya berkata untuk saat ini, “Dunia Politik Bukan Dunia Saya yang sebenarnya”. Karenanya saya juga harus memberi satu jawaban pasti, bahwa sementara saya harus konsentrasi pada tujuan awal saya. Dan memilih satu jalan, “Mundur untuk Maju Beberapa Langkah”. Ilmu Politik pun mengajarkan itu!! (**)
Anugerah Yang Maha Kuasa pada diri saya sepertinya hanya ditakdirkan sebagai ‘pegawai negeri’ saja. Tentu harus dikerangkeng dengan rambu-rambu yang berlaku di negeri ini bahwa seorang pegawai lebih baik professional di bidangnya masing-masing, meski tetap berharap saya tidak terpenjara untuk tidak menulis atas realitas sosial yang membentang dihadapan saya.
Jakarta yang kemudian menjadi labiratorium pendidikan saya, telah banyak mengajarkan dan melibatkan saya pada sejumlah aktifitas yang sebenarnya ‘diluar batas’ sebagai seorang aparat pemerintah. Tak perlu disebutkan satu persatu, tetapi saya hanya punya kesimpulan sederhana, bahwa saya perlu ‘back to basic’, belajar menghargai apa yang telah saya miliki hari ini. Berpolitik memang wahana untuk memperbaiki harkat dan martabat bangsa, tetapi tampaknya saya belum siap untuk itu. Semakin larut di dalamnya, maka semakin tampak hal-hal yang sebenarnya saya tak bisa mengikutinya. Saya tidak menyerah, saya hanya mencari dunia saya yang sebenarnya, mencari bentuk dan pijakan dimana kaki kedamaian saya akan berpijak nantinya.
Hari ini saya banyak membaca buku ‘Wild Swans’ karya Jung Chang yang merupakan kisah nyata tiga wanita China melalui pergolakan sosial sejak jatuhnya Pu Yi, masa penjajahan Jepang, perang saudara, kejayaan Komunis hingga masa kini. Pada buku ini, saya amat terkesima dengan kisah Xie De-Hong, perempuan perkasa China yang lahir dan tumbuh dari segala bentuk keterbelakangan, penindasan hingga masuk dalam dunia politik China yang berbalut komunis. Yang saya bisa petik dari kisah itu, adalah ‘kematangan menentukan langkah dalam berpolitik, bahwa jika pengetahuan kita amat sedikit, maka segeralah mundur, sebelum jauh dilibas didalamnya. Sebab jika Anda bertahan, maka Anda tak akan pernah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Dan saya merasa, belum cukup pengetahuan di bidang itu, sehingga harus mundur sebelum dilibas oleh zaman.
Bagi banyak orang. Ketika saya menulis tentang sosok tokoh kepemimpinan nasional yang melintas di dunia politik, maka pada saat bersamaan orang akan memberi ‘label’ jika sebenarnya saya telah melintas ke dunia politik itu sendiri. Ini yang saya hindari, meski banyak cara untuk berkelit. Tetapi saya benar-benar memilih satu jalan, konsentrasi pada tujuan yang sebenarnya. Seperti harapan anak-istri ketika melepas ke Jakarta untuk menyelesaikan pendidikan. Itu cita-cita lama, dimana saya pernah menulis satu kalimat kecil, “tak mati sebelum cita tergapai”.
Perjalanan sejengkal dalam mengenal dunia politik mentasbihkan saya bukan sebagai ‘lokomotif’ tetapi sebaiknya tetap fokus sebagai ‘pengagum’, sebab saya telah mengenal apa-apa yang menjadi kelemahan pribadi saya, seperti belum matang dalam bertindak, sederhana dalam berfikir, dan emosional yang masih labil. Saya masih perlu belajar untuk tidak ‘menyalakkan’ pistol kepongahan akademik saya yang amat sedikit ini. Saya juga sadar, bahwa ilmu yang masih sejengkal dan pengalaman yang sedepah, belum cukup untuk malang melintang di dunia itu.
Kalaupun orang mengatakan saya sedikit punya kelebihan dalam komunikasi verbal, yang merupakan ‘modal awal’ dalam dunia politik, tetapi itu juga tak cukup jika tak punya nyali untuk bertahan di dalamnya. Bagi saya, dunia saya yang sebenarnya adalah dunia kesederhanaan. Ingin bercanda dengan kalangan lapis bawah, ingin merasakan bagaimana getir kehidupan anak jalanan dan pengemis-pengemis ibukota, tentu juga ingin mencumbui bagaimana hiruk pikuk kalangan ‘jetset’ ibukota.
Mungkin semuanya itu telah saya jalani, dan saya rasa cukup untuk menjadi cerita masa depan saya. Ini bukan keputus-asaan, ini juga bukan bentuk lari dari kenyataan. Ini sebuah proses belajar untuk menentukan mana yang terbaik, serta belajar bertindak di saat yang tepat. Mungkin sejenak saya ‘koma’ dari kehidupan hiruk pikuk politik Ibukota, tetapi bukan berarti cita-cita saya harus tersungkur di tengah jalan. Saya hanya berkata untuk saat ini, “Dunia Politik Bukan Dunia Saya yang sebenarnya”. Karenanya saya juga harus memberi satu jawaban pasti, bahwa sementara saya harus konsentrasi pada tujuan awal saya. Dan memilih satu jalan, “Mundur untuk Maju Beberapa Langkah”. Ilmu Politik pun mengajarkan itu!! (**)