Dua bulan terakhir ini terasa begitu paceklik bagi seorang mahasiswa pascasarjana seperti saya. Pintu-pintu ’uang’ yang seharusnya terbuka di saat-saat penyelesaian akhir masa kuliah sepertinya tertutup. Pilihan pulang kampung berkumpul bersama keluarga di daerah, juga bukan solusi terbaik, sebab secara langsung melibatkan istri dan anak-anak ikut larut dalam beban yang seharusnya tak perlu mereka ketahui. Tesis yang seharusnya sudah rampung ikut terbengkalai, karena larut dalam situasi-situasi yang terekonstruksi oleh keadaan. Bingung mau berbuat apa, sementara mimpi-mimpi terus membentang panjang, bila diriku harus tetap yang terbaik di mata mereka dan keluarga besarku.
Bagi orang lain, mungkin mereka berfikir jika seharusnya saya tak perlu bingung dengan keadaan, sebab saya dan istri punya gaji bulanan dari negara. Harusnya saya tetap fokus menyelesaikan tesis dan bersiap-siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang saya inginkan. Idealnya memang begitu. Tapi entalah, jalan terasa begitu sempit dan seolah tak ada cahaya yang menuntun. Saya sadar, keadaan yang saya alami adalah buah dari rekonstruksi cita-cita yang masih panjang. Saya juga sadar, bila semua ini terjadi karena keinginan sesuatu itu berjalanan sempurna dan tak ada pihak yang dirugikan. Saya sadar, bila ini terjadi karena hidup saya telah ada ’standar’ tertentu dan tertekan oleh pandangan orang lain, bila saya bisa menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain. Dan saya lebih menyadari, jika Jakarta telah membentuk pola hidup saya yang terbangun dengan jaringan serba berkecukupan, sementara saya hidup dengan bekal dan pola hidup ala orang-orang daerah yang selalu mengutamakan kesederhanaan.
Ya! Saya harus memulai menjarit tesis-tesis saya yang terbangkalai dengan sepotong semangat yang tersisa. Sebab boleh jadi ini penyakit ’wajib’ yang dialami mahasiswa pasca jelang masa penyelesaiannya. Penyakit kejenuhan, yang sebenarnya bisa dialami oleh siapa saja. Saya hanya mencari waktu, kapan saat yang tepat untuk merajutnya lagi. Saya seolah mengumpul napas-napas yang tercerai berai karena kondisi yang terasa begitu berat.
Tetapi dibalik semua itu, saya menangkap makna yang menyadarkan saya bahwa kehidupan Jakarta dan daerah kesenjangannya begitu menganga, begitu lebar. Di Jakarta, ketika mengalami hal seperti ini, ada saja jalan keluar. Ada saja yang bisa dilakukan dan menghasilkan uang untuk menutupi kekurangan-kekuragan itu. Sementara di daerah, saya harus menuggu ’masa gajian’ tiba. Rasanya begitu sesak, jika menghitung-hitung besaran gaji dengan tingkat kebutuhan yang saya akan alami ke depan. Apalagi membandingkannya dengan nilai gaji daerah dengan tingkat kebutuhan bersatandar Jakarta. Rasanya benar-benar sumpek.
Mungkin ini pula yang menyebabkan mengapa Kota Jakarta menjadi sasaran kaum urban untuk mengadu nasib, meski mereka tahu bahwa Jakarta telah di imajinasikan sebagai kota yang begitu kejam. Bagi yang terbiasa hidup di Jakarta, image seperti ini, hanyalah bualan kaum elit Jakarta, yang tak ingin terganggu dengan kehadiran gelandangan dan pengemis (Gepeng), yang sebenarnya secara tidak langsung menjadi awal terkumpulnya pundi-pundi kekayaan mereka. Saya hanya ingin berkata, apa jadinya Jakarta tanpa kehadiran para Gepeng? Yang setiap hari mengumpul ’sampah-sampah’ para elit-elit itu.
Jika ada yang mengapologikan bahwa kehadiran kaum Urban di Jakarta semakin membuat ruwet dan macet perkotaan, itu juga alasan-alasan para elit, agar mobil-mobil mewahnya bisa melaju begitu cepat dan tepat waktu. Padahal kemacetan itulah yang membuat pundi-pundi kekayaannya juga semakin menumpuk. Saya meyakini, jika seandainya Jakarta lengang ala situasi lebaran, maka roda perputaran ekonomi akan berhenti. Hotel-hotel akan sepi, taksi-taksi akan kehilangan penumpang, dan pusat-pusat perbelanjaan akan lesu. Dan Jakarta akan menjelma tak ubahnya sebuah kota mati.
Ya, ini sebuah fenomena yang sebenarnya hanyalah jawaban dari sebuah apologi dari kesalahan terstruktur para elit negeri ini, yang telah membuat kesenjangan Jakarta dengan daerah-daerah. Yang telah membuat nyawa orang-orang daerah selalu menggantungkan harapannya dengan hiruk pikuk Jakarta. Saya hanya berharap, suatu saat nanti kedua kepal tangan ini akan merengkuh kesombongan Jakarta itu, lalu membaginya ke kantong-kantong daerah. Agar tak ada lagi pembeda kehidupan antara keduanya. (**)
Tapi kapan saya menulis tesis lagi?? hehehe
2 komentar
kalau ada pertanyaan "Kapan saya menulis tesis lagi", maka jawabannya : SEKARANG
jangan pak Hamzah tunda lagi ...
Di sela-sela kesulitan-kesulitan, pasti ada jalan keluar berupa kemudahan-kemudahan, ayo mulai nulis tesis lagi, Allah Swt tidak pernah tidur untuk memberikasn jalan keluar kepada orang-orang yang selalu berikhtiar ...
Semoga Allah Swt selalu melindungi Pak Hamzah dan orang-orang yang Pak hamzah cintai nun jauh disana ....
Salam,
andi mujahidin
Sabtu/ Ruang : 408
trims supportnya...